
RedMolKotaBinjai
Medan – Putusan bebas terhadap Eka Syahputra Depari, mantan Kepala BKD Langkat dalam kasus korupsi rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kabupaten Langkat, benar-benar memantik gelombang kekecewaan publik.
Dalam sidang yang digelar Sabtu malam (12/7/2025) di Pengadilan Tipikor Medan, Majelis Hakim yang diketuai M. Nazir secara terang-terangan menyatakan Eka tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu dan kedua,” kata hakim dalam amar putusannya.
Jaksa Lemah, Guru Jadi Korban
Yang paling menyakitkan dalam kasus ini bukan hanya vonis bebas, tapi tuntutan jaksa yang terlalu lunak sejak awal. Sebelumnya, JPU hanya menuntut para terdakwa dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, meski mereka didakwa melanggar Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Tuntutan ringan ini disikapi keras oleh ratusan guru honorer Langkat yang menjadi korban. Mereka bukan hanya kecewa, tapi merasa dikhianati oleh institusi penegak hukum yang seharusnya melindungi rakyat kecil.
Sebagai bentuk perlawanan, para guru honorer dan LBH Medan menggelar aksi unjuk rasa di depan PN Medan, menuntut keadilan dan hukuman maksimal bagi para pelaku.
“Ini kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Ratusan guru dan keluarganya jadi korban. Jangan main-main dengan penderitaan rakyat!” tegas Irvan Sahputra SH MH dan Sofian Muis Gajah dari LBH Medan, Sabtu (12/7/2025).
Mereka menegaskan bahwa kejahatan ini telah bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM No. 39 Tahun 1999, UU Tipikor, DUHAM dan ICCPR—menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kasus administratif, tapi pelanggaran hak asasi manusia secara terang-terangan.
Kontras: Kadisdik dan Tiga Terdakwa Lain Masuk Penjara
Berbeda dengan Eka, eks Kadisdik Langkat Saiful Abdi justru divonis 3 tahun penjara karena terbukti terlibat aktif dalam praktek kotor seleksi PPPK 2023. Ia dinilai bersalah melanggar Pasal 11 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, tiga terdakwa lainnya turut diganjar vonis penjara:
- Alek Sander, eks Kasi Kesiswaan SD Dinas Pendidikan, 2,5 tahun penjara, denda Rp100 juta subsider 5 bulan.
- Awaluddin, eks Kepsek SD Pancur Ido Salapian, 2 tahun penjara, denda Rp100 juta subsider 4 bulan.
- Rohayu Ningsih, eks Kepsek SD Tebing Tanjung Selamat, 1,5 tahun penjara, denda Rp50 juta subsider 3 bulan.
Hakim menilai perbuatan mereka telah mencederai dunia pendidikan dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah daerah.
Sorotan Tajam ke Kejaksaan: Di Mana Komitmen?
RedMol Binjai menilai Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah gagal mengemban amanah keadilan. Dengan tuntutan yang tidak mencerminkan beratnya kerugian dan dampak sosial kasus ini, publik patut bertanya:
“Apakah jaksa serius memberantas korupsi? Atau justru ikut bermain dalam pola pembiaran?”
Lemahnya tuntutan JPU patut dievaluasi secara menyeluruh. Skandal ini bukan sekadar soal uang, tapi menyangkut masa depan pendidikan dan nasib ribuan keluarga yang selama ini menggantungkan harapan pada integritas birokrasi.
Pikir-Pikir Bukan Solusi
Setelah vonis dibacakan, baik jaksa maupun para terdakwa menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari untuk menentukan sikap. Namun bagi publik, terutama para korban, waktu bukan lagi penawar.
Yang dibutuhkan adalah sikap tegas dan langkah konkret. Jika Kejati Sumut tidak segera mengajukan banding, maka jelas—hukum tidak hanya tumpul ke atas, tapi juga absen di hadapan rakyat kecil.
RedMol Desak Jaksa Ajukan Banding
RedMol Binjai mendesak Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan untuk mengawasi kinerja Kejati Sumut, serta mendorong upaya banding sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat.
“Keadilan harus ditegakkan, bukan dinegosiasikan. Guru honorer bukan korban yang bisa diabaikan begitu saja,” ujar Koordinator Investigasi RedMol Binjai.
Skandal PPPK Langkat telah membuka borok sistemik dalam birokrasi daerah. Kini, bola panas berada di tangan penegak hukum. Publik menanti, bukan sekadar vonis, tapi kebenaran yang utuh dan keadilan yang nyata.
(Redaksi RedMolKotaBinjai – Rudy Hartono)
